Islam menganjurkan perkawinan, akan tetapi bila dilihat dari kondisi dan
keadaan orang yang akan melaksanakannya, maka hukumnya bisa wajib, haram,
sunnat, mubah dan makruh.
a) Wajib kawin Seorang wajib hukumnya kawin, bila dia mempunyai keinginan yang kuat mempunyai kemampuan material, mental dan spritiual untuk melaksanakan kewajiban selama dalam perkawinan dan adanya kekhawatiran apabila ia tidak kawin akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.
b) Perkawinan yang Sunnat Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban tetapi bila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Alasan hukum berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. yang menganjurkan perkawinan. Kebanyakan ulama berpendapat hukum dasar perkawinan adalah “sunnatâ€. Ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah “mubahâ€. Ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.
c) Perkawinan yang haram. Bagi orang yang belum berkeinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul tanggung jawab dalam kelangsungan perkawinan, dan apabila dipaksakan kawin akan berakibat menyusahkan dan penderitaan bagi isterinya, maka hukumnya menjadi haram. Nabi saw mengajarkan : “Jangan melakukan suatu perbuata yang berakibat menyusahkan diri sendiri & orang lain.â€
d) Perkawinan Makruh Perkawinan hukumnya makruh, bagi seseorang yang mampu dari segi materiil, cukup daya tahan mental dan agama, tetapi ada kekhawatiran tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberikan nafkah batin, meskipun tidak berakibat menyusahkan isterinya. Imam Al-Gazali mengatakan bahwa Suatu perkainan bila dikhawatirkan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat kerja dalam bidang ilmiah maka hukumnya lebih makruh.
e) Perkawinan yang mubah Bagi orang yang mampu dari segi materiil, dan fisik dan apabila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran berbuat zina maka hukumnya mubah. Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kesenangan bukan untuk tujuan membina keluarga serta keselamatan hidup beragama. Catatan: Salah satu tujuan diciptakannya Hukum Islam adalah untuk memelihara keturunan. Karenanya diciptakan Hukum Perkawinan.
a) Wajib kawin Seorang wajib hukumnya kawin, bila dia mempunyai keinginan yang kuat mempunyai kemampuan material, mental dan spritiual untuk melaksanakan kewajiban selama dalam perkawinan dan adanya kekhawatiran apabila ia tidak kawin akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.
b) Perkawinan yang Sunnat Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban tetapi bila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Alasan hukum berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. yang menganjurkan perkawinan. Kebanyakan ulama berpendapat hukum dasar perkawinan adalah “sunnatâ€. Ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah “mubahâ€. Ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.
c) Perkawinan yang haram. Bagi orang yang belum berkeinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul tanggung jawab dalam kelangsungan perkawinan, dan apabila dipaksakan kawin akan berakibat menyusahkan dan penderitaan bagi isterinya, maka hukumnya menjadi haram. Nabi saw mengajarkan : “Jangan melakukan suatu perbuata yang berakibat menyusahkan diri sendiri & orang lain.â€
d) Perkawinan Makruh Perkawinan hukumnya makruh, bagi seseorang yang mampu dari segi materiil, cukup daya tahan mental dan agama, tetapi ada kekhawatiran tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberikan nafkah batin, meskipun tidak berakibat menyusahkan isterinya. Imam Al-Gazali mengatakan bahwa Suatu perkainan bila dikhawatirkan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat kerja dalam bidang ilmiah maka hukumnya lebih makruh.
e) Perkawinan yang mubah Bagi orang yang mampu dari segi materiil, dan fisik dan apabila ia tidak kawin tidak ada kekhawatiran berbuat zina maka hukumnya mubah. Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kesenangan bukan untuk tujuan membina keluarga serta keselamatan hidup beragama. Catatan: Salah satu tujuan diciptakannya Hukum Islam adalah untuk memelihara keturunan. Karenanya diciptakan Hukum Perkawinan.
Perkawinan
adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk
yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga, sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36.
Menuasia
adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh mulia dari makhluk yang lainnya
sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya aturan dan tata cara secara
khusus sebagai landasan untuk mempertahakan kelebihan derajat yang namanya
makhluk menuasia disbanding dengan jenis makhluk lainnya.
2. Kedudukan
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka teori resepsi
seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan
sendirinya.
Teori
resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di
Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah
nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu
dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima
dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan
bantuan atau peraturan Hukum Adat.
Disamping
pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat yang dikemukakan bahwa sebetulnya
teori resepsi itu baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134
ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus dengan berlakunya Undang-Undang
Dasar 1945.
Hal
ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat 2 yang memuat
ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya. Dari
ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka pemerintah berhak untuk
mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana
peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara yang beragama Islam.
Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam tidak usah melihat
apakah hukum Islam telah menjadi hukum adat atau belum
Mengenai
berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat
dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan
perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada
satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara Indonesia
tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut dalam
pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya
Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74),
Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898
Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan
yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, hukum
perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan
dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan
tersebut diatas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini,
dalam hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini
masih tetap berlaku.
Disamping
ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya hukum Perkawinan Islam
bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka
hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang
Perkawinan ini. tetap berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, maka bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan
perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan
Islam.
Dengan
demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat dipakai
sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai
peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama
Islam.
3.
Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.
Hukum
Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh
karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan
dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya
mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan
yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami
istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan
perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan,
Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lain-lain.
4. Pentingnya perkawinan bagi kehidupan
manusia, khusus bagi orang Islam adalah sebagai berikut:
a Dengan melakukan perkawinan yang sah
dan dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun
kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan
yang lain.
b Dengan melaksanakan perkawinan dapat
terbentuk suatu rumah tangga dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat
terlaksana secara damai dan tentram suami istri.
c. Dengan melaksanakan perkawinan yang
sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga
kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus
jelas dan bersih.
d. Dengan terjadimnya perkawinan, maka
timbulah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat,
sehingga dapat diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan
berada dalam suasana damai.
e. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah
merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam.
5. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum
Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Dalam ajaran Islam ada beberapa
prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
a. Harus ada persetujuan secara suka rela
dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan
peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju
untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh
seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan
wanita yang harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah
pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk
membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk
selam-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami istri adalah
seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada
suami.
6. Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, disebtkan didalam penjelasan
umumnya sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu
dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu
dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan
bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku,
pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang
juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas
monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan
agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih
dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang
istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan
oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip,
bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk
itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah
umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan,
maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah
terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab
batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan
laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang
lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini
menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9
tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang
Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau
kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan
menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada
perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
Demikianlah
tulisan singkat ini yamg tentunya disana sini banyak kekurangannya, bila dalam
tulisan ini ada kebaikannya hal tersebut tentunya merupakan sesatu hal yang
datanggnya dari Allah Swt. dan hal tidak baiknya itu merupakan kekeliruan dari
penulis, karena itu mohon maaf yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin ya robal alamin.
Hukum Nikah Kawin Dalam Islam
Mungkin masih
banyak yang belum tahu Hukum Pernikahan atau Perkawinan Menurut Islam,
saya yakin banyak anak muda zaman sekarang tidak mengerti akan Hukum Pernikahan
yang sebenarnya jika ditanya, dalam hal ini saya bukan menggurui seseorang
namun hanya sekedar berbagi informasi tentang adanya hukum pernikahan atau perkawinan menurut agama islam yang
perlu diketahui semua orang, pernikahan di dalam agama islam adalah suatu yang
wajib hukumya, namun banyak juga pendapat lain dari berbagai sumber mengenai
hukum nikah ini, mari kita tengok satu persatu yang perlu anda ketahui mengenai
Hukum Pernikahan dan Perkawinan Dalam Islam tersebut.
sebelum menikah
mungkin kedua mempelai telah banyak mempersiapkan segala sesuatunya seperti
memakai Busana Modern atau Kebaya dengan Motif Batik
agar suatu pernikahan kelihatan sempurna, dalam hal itu tidak
ketinggalan orang mencari Contoh Undangan Pernikahan.
Alabik,, mari kita lihat hukum dari pernikahan
perkawinan menurut agam islam dibawah ini. Semua akan sangat tergantung dari
kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu
bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
1.
Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu
wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat
beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari
zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah,
tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib
hukumnya.
Imam Al-Qurtubi
berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk
menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada
dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup
dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang
menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan
binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2.
Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang
tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun
masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya
yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang
punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa
jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia
menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan
dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran
Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat
lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib
nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu
Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang
yang tidak sempurna ibadahnya.
3.
Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal,
ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama,
tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual.
Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu
mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga
bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima
oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah,
haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada
persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang
yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan
beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya
untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima
resikonya.
Selain dua hal
di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah.
Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama
atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita
yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam
masa iddah.
4.
Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang
tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya
rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan
bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya
bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung
jawab pihak suami.
Maka pernikahan
itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila
kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami,
maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5.
Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang
berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya
untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum
menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah
namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi
tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah
nah dari point
diatas didapat lah bahwa ada 5 hukum nikah dalam islam yang kesemuanya
ada meliputi kondisi tertentu yang menjadikan hukum perkawinan tersebut menurut
komposisinya masing – masing.
semoga bisa
bermanfaat bagi anda Hukum Pernikahan dan Perkawinan Dalam Islam ini.
0 komentar:
Posting Komentar